Ekonomi

Surabaya-Sidoarjo: Laut dengan Status HGB, Apa yang Terjadi?

Yakin akan dampak status HGB di laut Surabaya-Sidoarjo? Temukan bagaimana ini mempengaruhi nelayan dan lingkungan sekitar.

Kami sedang meneliti dampak dari penunjukan 656 hektar laut di Surabaya-Sidoarjo di bawah status HGB. Penunjukan ini menimbulkan masalah hukum yang signifikan, termasuk konflik dengan hak-hak penangkapan ikan lokal dan kepatuhan regulasi, khususnya terkait dengan Peraturan Provinsi Jawa Timur No. 10/2023. Para nelayan mengungkapkan kekhawatiran tentang kehilangan akses ke area penangkapan ikan tradisional, yang membahayakan mata pencaharian mereka dan praktik berkelanjutan. Dampak lingkungan yang mungkin juga menjadi perhatian serius, karena gangguan terhadap perikanan lokal dapat mengancam ekosistem laut. Untuk memahami sepenuhnya tantangan ini dan solusi potensial, kita harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas tentang hak-hak komunitas dan pembangunan berkelanjutan di area ini.

Penemuan HGB di Sidoarjo

Dalam beberapa tahun terakhir, penemuan status Hak Guna Bangunan (HGB) di Sidoarjo telah mengungkapkan sekitar 656 hektar area perairan, sebuah temuan signifikan yang tidak bisa kita abaikan.

Penemuan HGB ini, yang diidentifikasi oleh Thanthowy Syamsuddin dari Universitas Airlangga, berposisi strategis antara Surabaya dan Sidoarjo, dekat Eco Wisata Mangrove Gunung Anyar.

Melalui verifikasi spasial yang dilakukan melalui aplikasi spasial BPN dan Google Earth, kami mengonfirmasi lokasi HGB yang tepat di luar Surabaya.

Secara historis, tiga sertifikat HGB dikeluarkan pada tahun 1996, dengan masa berlaku yang berakhir pada tahun 2026.

Nelayan lokal mengingat alokasi tanah pemerintah untuk akuakultur pada tahun 1980-an, yang membuka jalan bagi kepemilikan perusahaan oleh perusahaan seperti PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang.

Implikasi dan Tantangan Hukum

Meskipun penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas perairan di Sidoarjo awalnya tampak memudahkan pengembangan, hal ini menimbulkan implikasi hukum yang signifikan yang memerlukan pengawasan cermat.

Kontradiksi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 menyoroti dampak hukum yang serius. Kita harus mempertimbangkan potensi masalah kepatuhan regulasi, terutama mengingat Peraturan Provinsi Jawa Timur No. 10/2023 yang menetapkan area tersebut untuk perikanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan telah menegaskan bahwa tidak seharusnya ada sertifikat tanah di atas air, menyatakan bahwa sertifikat di bawah air adalah ilegal. Penyelidikan yang sedang berlangsung oleh BPN Jatim terhadap sertifikat HGB ini dapat mengungkap pelanggaran yang mengarah pada tantangan hukum.

Jika dianggap "ditinggalkan," area tersebut dapat kehilangan hak atas tanah, yang mempersulit rencana pengembangan masa depan oleh PT Surya Inti Permata.

Kekhawatiran Komunitas dan Lingkungan

Saat kita menggali kekhawatiran komunitas dan lingkungan mengenai kepemilikan Hak Guna Bangunan (HGB) di Sidoarjo, penting untuk mengakui suara dari nelayan lokal yang merasa wilayah penangkapan ikan tradisional mereka terancam.

Perairan ini, yang ditetapkan untuk penggunaan komunitas sejak tahun 1980-an, sangat vital untuk praktik berkelanjutan dan mata pencaharian banyak orang.

Dengan area HGB yang mencakup 656 hektar, akses tetap menjadi tantangan, namun para nelayan terus berupaya memanen kerang dan ikan.

Yang mengkhawatirkan, dampak negatif potensial terhadap perikanan lokal dan ekosistem laut menimbulkan kekhawatiran serius.

Saat para nelayan merenungkan tentang hak mereka yang hilang terhadap laut, kompensasi yang tidak memadai atas penjualan tanah meningkatkan tekanan ekonomi.

Kita harus mendorong transparansi dalam pengelolaan tanah untuk melindungi baik lingkungan maupun hak-hak nelayan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Trending

Exit mobile version